13 Jan 2011

Anak Baduy Hoyong Kuliah


Suku Baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten, dikenal sebagai komunitas masyarakat yang tertinggal karena masih berpegang teguh pada aturan adat yang mereka warisi secara turun-temurun.

Dari sekian banyak adat yang masih hidup di tengah masyarakat Baduy, yakni larangan bagi warganya untuk mengikuti pendidikan secara formal, dan karena itu tidak ada seorang pun yang bersekolah.

Namun, aturan itu tidak membuat Mulyono, salah seorang anak dari Suku Baduy, patah semangat untuk belajar, dan keinginan itu pun didukung adanya celah yang memungkinkan dia belajar.

"Kalau sekolah formal memang kita tidak boleh, tapi jika ingin bersekolah nonformal tidak masalah, dan itu menjadi celah bagi saya untuk belajar baca, tulis dan berhitung," kata remaja berusia 16 tahun itu.

Sejak setahun lalu, anak pasangan Sarkam dan Misnah ini belajar membaca, menulis dan berhitung di Perkumpulan Kelompok Belajar Masyarakat (PKBM) Dian Puspita.

"Sudah setahun ini saya bersekolah di PKBM Dian Puspita, dan sekarang saya sudah bisa membaca, menulis dan berhitung, senang rasanya saya tidak buta huruf lagi," kata Muloyo yang tinggal di Kampung Balimbing Kecamatan Kanekes Kabupaten Lebak itu.

PKBM itu terletak di Desa Ciboleger Kecamatan Kanekes, yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Mulyono setiap hari datang ke lembaga pendidikan norformal itu untuk menimba ilmu.

Karena kegiatan rutin bekerja di ladang dan sawah untuk membantu kedua orang tuanya, maka Mulyono pun baru bisa berangkat ke tempat PKBM dan mulai belajar pada pukul 14.00 WIB.

Dengan mata berninar dan raut muka sumringah, Mulyono mengaku dirinya kini sudah tercatat sebagai salah seorang siswa pada lembaga pendidikan luar sekilah (PLS) keseteraan paket-A.

"Saya sekarang sudah masuk paket-A, dan sebentar lagi akan ikut ujian, tidak tahu bisa lulus atau tidak, tapi mudah-mudahan lulus ya," katanya, sambil dari kedua bibirnya tersungging senyum.

Remaja yang memiliki tinggi badan 150 centimeter dan berawakan sedang itu, juga mengaku tidak akan berhenti belajar, bahkan ingin melanjutkan pendidikannya hingga bangku kuliah.

"Saya ingin kuliah seperti orang Indonesia lainnya, dan keinginan itu akan berupaya saya wujudkan," katanya.

Ia sadar, dengan berkuliah dan memiliki ilmu pengetahuan akan mengubah hidupnya ke arah lebih baik, dan tentu akan mengubah anggapan selama ini, bahwa warga Baduy tidak pernah sekolah dan bodoh.

"Kalau tidak sekolah, saya akan begini-begini saja. Saya tidak mau tertinggal. Saya harus maju," ujarnya.

Remaja berkulit bersih ini juga memiliki keinginan yang sangat baik. Dia ingin seluruh warga Baduy ke depan bisa membaca, menulis dan berhitung, tidak lagi seperti sekarang, yang sebagian besar masih buta huruf.

Untuk itu, ia berharap pemerintah bisa mendorong pembentuk PKBM di lokasi yang berdekatan dengan kawasan permukiman suku tertinggal itu, sehingga mudah bagi anak-anak Baduy dalam menuntut ilmu.

"Kalau anak-anak Baduy memang sudah cukup banyak yang melek aksara, tapi orang tuanya masih belum bisa membaca dan menulis," katanya.

Meski pemikiran Mulyono lebih maju dibandingkan warga Suku baduy lainnya, namun tidak mengubah penampilan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Adat masih dia patuhi.

Mulyono masih mengenakan baju kempret (sejenis koko) tangan panjang warga hitam dan celana sedengkul dengan warga yang sama.

Dalam keseharian remaja itu pun masih membawa koja, tas yang terbuat dari anyaman kulit kayu yang dibuat sendiri oleh warga Baduy, dan kalau berjalan bersama beberapa orang, dia masih berada di belakang yang lebih tua.

Suku Baduy mendiami lokasi seluas 5.101 hektare (Ha) di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar sekitar 38 Km dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Mereka hingga kini masih memegang adat secara ketat, dan seluruh warga harus mematuhinya.

Suku Baduy dibagi dalam dua bagian, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Mereka merupakan komunitas unik, karena tidak mau mengenal moderenisasi, dan karena itu dalam kehidupannya tidak ada kesenjangan sosial, tak ada yang miskin dan kaya, semuanya sama.

Baduy memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang disebut Puun, berjumlah tiga orang, yang dibantu delapan orang jaro yang memiliki fungsi dan tugas masing-masing.

Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.

Mata pencarian masyarakat Baduy terutama bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.

Buta huruf

Hingga awal Agustus 2010, penyandang buta aksara di Provinsi Banten sebanyak 124.041 jiwa, yang tersebar di tujuh kabupaten/kota di daerah itu.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten Eko Endang Koswara, menjelaskan jumlah buta aksara di daerah itu setiap tahun mengalami penurunan yang cukup signifikan.

"Pada 2007 jumlah buta aksara di Banten sebanyak 447.069 jiwa, pada 2008 turun menjadi 232.268 jiwa, 2009 kembali berkurang jadi 155.305 jiwa dan hingga awal Agustus 2010 tinggal 124.041 jiwa," katanya.

Dari tujuh kabupaten/kota, warga buta aksara paling banyak terdapat di Kabupaten Tangerang, yakni 64.298 jiwa, kemudian di Pandeglang 29.283 jiwa, Lebak 15.050 jiwa, dan Kota Serang 8.345 jiwa.

Kemudian di Kota Tangerang sebanyak 5.268 jiwa, di Kota Cilegon 1.797 jiwa, sedangkan di Kabupaten Serang belum terdata.

Ia juga menjelaskan, pemberantasan buta aksara bukanlah pekerjaan yang mudah, perlu kerja sama dan dukungan berbagai pihak terkait termasuk masyarakat.

Memberantas buta aksara, kara dia, bukan hanya menjadikan masyarakat bisa baca, tulis dan berhitung, tapi mendorong seluruh warga agar bersemangat untuk belajar.

"Pemberantasan buta aksara juga merupakan upaya memutus mata rantai kemiskinan. Kalau masyarakat pintar maka tidak akan ada lagi yang miskin," ujarnya.

Pemerintah Provinsi Banten menargetkan bebas penyandang buta aksara pada tahun 2012, dan masyarakat Suku Baduy tentu merupakan bagian dari target dari program tersebut.

Wakil Gubernur Banten HM Masduki, mengatakan sejak berpisah dengan Provinsi Jawa Barat, program pemberantasan buta huruf/buta aksara di Banten selama 10 tahun telah memberikan hasil yang signifikan, karena setiap tahun selalu mengalami penurunan.

Menurut dia, Pemerintah Provinsi Banten telah melaksanakan program pemberantasan buta aksara secara intensif sebagai upaya untuk mempercepat peningkatan tingkat melek huruf.

Buta huruf merupakan masalah nasional yang akan terus diupayakan untuk diberantas. Saat ini warga yang tidak bisa baca-tulis di Indonesia mencapai 8,7 juta jiwa, dan secara bertahap akan terus dikurangi.

Direktur Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan Nasional Ella Nurlailawati menjelaskan, pada akhir 2010 jumlah penyandang buta aksara di Indonesia ditargetkan tersisa 8,3 juta jiwa.

"Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengentaskan buta aksara ini, dan hingga akhir 2010 diharapkan tinggal tersisa 8,3 juta lagi," katanya.

Para penyandang masalah sosial itu, kata dia, 65 persen tinggal di pedesaan dan hidup dalam kondisi miskin.

Dari total penderita buta aksara itu, kata dia, sebanyak 300 ribu jiwa di antaranya berusia 14-24 tahun, 1,1 juta jiwa berumur 25-44 tahun dan 7,3 juta jiwa berusia 45 tahun ke atas.

Pemerintah, kata dia, sangat bersungguh-sunggun menuntaskan buta aksara itu, walapun tidak mudah untuk merealiasikannya, dan sejauh ini Indonesia dinilai oleh dunia sebagai negara yang berhasil "memerangi" masalah sosial itu.

"Indonesia ditetapkan sebagai negara paling berhasil memberantas buta akara, dan karena itu dijadikan sebagai pelopor untuk wilayah Asia-Pasifik," ujarnya.

Ella juga menjelaskan, pemerintah telah menetapkan strategi untuk menekan jumlah buta akara itu, di antaranya memfokuskan penanganan pada provinsi, kabupaten/kota dan desa yang masih pada penduduk buta aksaranya.

Melihat keseriusan pemerintah tersebut, agaknya perwujudan tekad seorang anak Baduy, Mulyono, untuk kuliah, tinggal menunggu waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar